2013/10/09

Surat Untuk Ayah

Aku berdiri tidak tenang di depan gerbang sekolah. Sudah lebih dari 1 jam aku menunggu dan tahu-tahu kesabaranku sudah mencapai ubun-ubun saja. Ayah lagi-lagi membatalkan janji sepihak begini. Tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah Ayah menulis pesan untukku yang ditempelkan di depan pintu bahwa Ayah akan menjemputku sepulang sekolah dan kami akan menghabiskan hari berdua untuk merayakan ulang tahunku yang ke enam belas hari ini. Tampaknya semua akan cukup indah hari ini meski aku tidak mendapati ucapan selaman ulang tahun dan kecupan manis Ayah tepat tengah malam atau sekedar kue ulang tahun yang bertatahkan lilin yang menyala.Bagiku janji menghabiskan waktu berdua sudah lebih dari sekedar kado indah dari ayah yang hampir sejak 3 bulan ini tak pernah punya waktu untukku.

Ayah selalu berangkat ke kantor sebelum aku bagun dan pulang setelah aku tertidur lelap. Otomatis aku tidak pernah mengobrol dengannya. Meski sekarang sudah ada teknologi dan Ayah memfasilitasiki dengan semua itu, tetap saja jarak diantara kami makin menganga hari demi hari.

Drrrt.. Drrrt.. Hanphoneku bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayah, segera kuangkat.

"Sayang, Maafkan Ayah, Ayah ngaak..". Klik. Aku memutuskan sambungan telepon itu. Aku sudah tau sekuelnya. Daripada mendengar langsung dari Ayah membuatku makin lara lebiih baik aku mematikan telepon itu. Ini seperti saat ayah berjanji akan mengambil raportku namun ternyata Ayah tidak bisa karena ada janji dengan klien mendadak. Sontak emosiku meledak, merasa aku tak punya lagi harga di mata Ayah. Merasa aku tak punya arti buat Ayah. Untung kala itu ada Tante Linda, mama Ical, mama pacarku. Tante Linda berbaik hati mengambilkan raportku dan untungnya wali kelasku menyetujuinya.

Kali ini aku sudah tidak bisa lagi menahan emosi. Aku menelpon Ical, meminta diantar pulang ke rumah, tidak kemana-mana. Aku hanya ingin pulang dan sendiri saja. Ical manut, jadilah aku sampai rumah 30 menit kemudian.

"Nad, kalo ada apa-apa kamu harus ngasih tau aku ya?", Ical berharap cemas, seolah aku ini hendak bunuh diri saja. Aku tersenyum tipis dan mengangguk.

"Kalau kamu butuh cerita, aku siap kapan aja,"  Ical sibuk menawarkan bantuan.

"Makasih sayang, makasih banget. Aku cuma butuh sendiri sekarang".

"Ini hari ulang tahun kamu, seharusnya kamu nggak melewatkannya dengan cara begini". Aku tersenyum getir dan melangkah masuk ke rumah.

Sesampainya di kamar, aku mengambil album foto keluargaku. Masih ada Ibu yang mengendongku, Ayah yang mengajariku bersepeda dan kami bertiga yang belajar berenang bersama-sama sebab sama-sama tidak bisa. Ada juga fotoku sedang mengangkat piala tinggi setelah memenangkan pertandingan catur saat berusia 10 tahun. Ayah mengangkatku tinggi-tinggi dan ibu tersenyum manis sekali.

Sayang sekali kebersamaan itu luntur, sejak Ibu meniggal 3 bulan yang lalu. Tahu-tahu Ayah menjadi sangat sibuk dan tak punya waktu. Sekedar makan malam bersama atau mengantarkanku ke sekolah tak lagi sempat. Aku malah lebih banyak menghabiskan waktu dengan Ical. Dan Ayah ? Tenggelam dalam dunianya sendiri seolah aku tak ada lagi..

Aku sudah memutuskan untuk menulis surat saja buat Ayah. Kupikir itu lebih baik dan Ayah bisa membaca sesempatnya. Surat yang mengabarkan aku sudah lelah merasa sedih dan tak dianggap penting atau bahkan mungkin dianggap ada. Jadi begini bunyi suratku..

Untuk AYAH

Terima kasih Ayah, Ayah selalu pulang setelah waktu makan malam usai sehingga aku bisa makan tnapa aturan yang kaku

Terima kasih Ayah, Ayah terus mengganti perhatian dengan uang sehingga aku kelelahan menghabiskannya sendirian

Terima kasih  Ayah, Ayah tak pernah menjumputku atau mengantarku sehingga aku lebih banyak punya waktu dengan Ical

Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi menemaniku main catur di sore hari sehingga aku bisa berkeliaran sesukaku

Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi sempat mengambil raportku sehingga aku tak perlu meliihat kebanggaan yang mengharu biru

Terima kaih ayah, Ayah sudah melupakan hari ulang tahunku sehingga aku tak perlu menutup mata untuk membuat permintaan sesaat sebelum meniup lilin.


Maaf, aku tidak pernah mengerti dunia Ayah

Maaf, aku terlalu banyak menuntut waktu Ayah

Maaf, aku selalu saja tak peduli dengan apa yang terjadi pada Ayah

Maaf, aku tak lagi pernah bercerita tentang duniaku kepada Ayah

Maaf, aku tak lagi memberi dekapan hangat dan ucapan selamat pagi sebelum memulai hari

Maaf, aku membebani hidup Ayah

Maaf, aku menjadi anak Ayah yang membuat Ayah tak bahagia

Maaf, aku terlalu menuntut banyak maaf sedang aku tak bisa memberi apa-apa

-NADIA-

Pada baris terakhir dimana namaku berada, air mataku menetes lembut. Aku terlalu lelah sekarang untuk menahan air mata. Aku tidak lagi percaya aku masih punya keluarga. Aku lelah.. Aku kehilangan arah..

Tepat pukul 11 malam aku terbangun, ternyata menangis menguras tenaga dan aku kelelahan karenanya. Tahu-tahu aku sudah terbangun saja. Namun ada yang aneh, surat yang kutulis untuk Ayah tidak lagi disebelahku. Ada secarik kertas lain yang ditunjukan untukku.

Untuk Nadia, Malaikaan kecil Ayah yang beranjak dewasa

Maaf, Ayah tak pernah lagi menemanimu makan malam atau sekedar main catur di sore hari. Ayah tahu nak, Ayah telah terlalu jauh mengabaikanmu. Tapi bagaimana pun juga sekarang Ayah sendiri. Sendiri mengurus kantor dan usaha perkebunan bunga yang dulu sempat dikelola ibu. Sendiri juga Ayah harus mengatur diri. Sendiri membesarkanmu dan pada yang terakhir ini ternyata Ayah gagal. Ayah tak pernah mau berterus terang kepadamu, kepada permintaan terakhir ibumu, bahwa kaulah yang mengurus perkebunan bunga itu, Ayah pikir kau masih terlalu kecil untuk mendapat beban seberat itu. Ayah taku masa remajamu akan lewat tanpa kau sempat menikmatinya. Ayah takut mengatakan hal ini kepadamu, takut kalau Ayah menyebut Ibu dukamu akan kembali hadir dan Ayah tak sanggup melihatmu menangis karena jauh dalam hati Ayah, Ayah akan lebih dari sekedar menangis. Ayah selalu tak tahan melihatmu bersedih, Nak. Maaf Ayah tak memberitahumu sehingga Ayahlah yang membuatmu merasa bersedih atas kesepian yang Ayah ciptakan.

Maaf Ayah tak pernah memberitahumu betapa Ayah sangat khawatir kau bergaul dengan tidak benar, berkawan dengan orang yang salah. Tapi ternyata kau memilih Ical masuk dalam hidupmu dan Ayah selalu yakin dengan pilihanmu. Meski Ayah sangat khawatir Ayah rasa Ayah tidak perlu mengatakannya kepadamu karena Ayah pikir itu hanya akan menbuatmu merasa terbelenggu.

Maaf Ayah tak pernah memberitahumu, setiap malam Ayah selalu masuk kamarmu dan tidur disebelah ranjang diatas karpet merah itu. Ayah selalu mencium keningmu diam-diam dan menatap senyummu yang damai dalam tidur. Itu membuat Ayah lebih kuat untuk menjalani esok hari. Hanya kamu yang memberi Ayah kekuatan. Hanya senyummu yang membuat Ayah bertahan.

Maaf Ayah membuatmu menutup telepon siang tadi. Ayah ingin berkata sebenarnya, Ayah ada di makan Ibu. Mengabarkan kepadanya tentang kau yang terus membuat kami bangga dengan prestasi dan tumbuh menjadi gadis yang sungguh cantik. Ayah juga bercerita kepada Ibu betapa Ayah sanggat bangga kau tetap menjadi juara pertama di sekolah meski Ibu tidak ada lagi. Ayah menceritakan semuanya Nak. Ayah pikir Ibu juga harus berbahagia di hari ulang tahunmu ini. tapi Ayah justru membuatmu kecewa dengan tidak mengatakannya. Entah mengapa sekarang Ayah terlalu takut berkata apa-apa. Takut Ayah akan terlalu sering mengucapkan nama Ibumu dan kau akan merindukannya dan merasa tersiksa. Dan disinilah kesalahan Ayah. Ayah tak lagi pernah berbicara kepadamu. Ayah tak lagi mengatakan betapa Ayah sangat menyayangimu dan bangga padamu. Ayah terlalu takut membagi beban tentang kesedihan ditinggal Ibu. Ayah terlalu sibuk mencintaimu tetapi tidak pernah membuktikannya dihadapanmu.

Maaf Ayah terus membuarkanmu sendiri, maaf Ayah terlalu sering membuatmu kecewa. Maaf Ayah menyayangimu tapi kau tak lagi tahu.

Sayang, disebelahmu Ayah meletakkan kue ulang tahunmu. Entah apakah sekarang lilinnya masih menyala atau tidak. Jika masih dan kau menginginkan Ayah menemanimu untuk meniupnya, turunlah. Ayah menunggumu didepan gerbang. Tapi jika sudak lewat tengah malam dan kau tak juga turun, Ayah mengerti. Memang Ayah terlalu banyak bersalah dan lebih baik kau sendiri. Ayah mengerti dan Ayah akan membiarkan kau melakukannya sendiri.

-Ayah-

Sampai pada titik terakhir, surat itu sudah basah oleh air mataku. Aku segera berlari keluar membawa kue ulang tahunku yang sudah dingin. Ternyata Ayah sudah menungguku sejak tadi dan tetap terjaga.

"Ayah..", aku berkata pelan. Ayah tersenyum menatapku. Segera aku berlari memeluknya.

"Ayah menyayangimu tapi Ayah tidak memberitahumu. Maaf."

"Aku yang bodoh, tak pernah merasakannya."

Dan kami pun tenggelam dalam tangis disaksikan oleh kue ulang tahun yang membeku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar