Aku berdiri tidak tenang di
depan gerbang sekolah. Sudah lebih dari 1 jam aku menunggu dan tahu-tahu
kesabaranku sudah mencapai ubun-ubun saja. Ayah lagi-lagi membatalkan janji
sepihak begini. Tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah Ayah menulis pesan
untukku yang ditempelkan di depan pintu bahwa Ayah akan menjemputku sepulang
sekolah dan kami akan menghabiskan hari berdua untuk merayakan ulang tahunku
yang ke enam belas hari ini. Tampaknya semua akan cukup indah hari ini meski
aku tidak mendapati ucapan selaman ulang tahun dan kecupan manis Ayah tepat
tengah malam atau sekedar kue ulang tahun yang bertatahkan lilin yang
menyala.Bagiku janji menghabiskan waktu berdua sudah lebih dari sekedar kado
indah dari ayah yang hampir sejak 3 bulan ini tak pernah punya waktu untukku.
Ayah selalu
berangkat ke kantor sebelum aku bagun dan pulang setelah aku tertidur lelap.
Otomatis aku tidak pernah mengobrol dengannya. Meski sekarang sudah ada
teknologi dan Ayah memfasilitasiki dengan semua itu, tetap saja jarak diantara
kami makin menganga hari demi hari.
Drrrt.. Drrrt..
Hanphoneku bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayah, segera kuangkat.
"Sayang,
Maafkan Ayah, Ayah ngaak..". Klik. Aku memutuskan sambungan telepon itu.
Aku sudah tau sekuelnya. Daripada mendengar langsung dari Ayah membuatku makin
lara lebiih baik aku mematikan telepon itu. Ini seperti saat ayah berjanji akan
mengambil raportku namun ternyata Ayah tidak bisa karena ada janji dengan klien
mendadak. Sontak emosiku meledak, merasa aku tak punya lagi harga di mata Ayah.
Merasa aku tak punya arti buat Ayah. Untung kala itu ada Tante Linda, mama
Ical, mama pacarku. Tante Linda berbaik hati mengambilkan raportku dan
untungnya wali kelasku menyetujuinya.
Kali ini aku
sudah tidak bisa lagi menahan emosi. Aku menelpon Ical, meminta diantar pulang
ke rumah, tidak kemana-mana. Aku hanya ingin pulang dan sendiri saja. Ical
manut, jadilah aku sampai rumah 30 menit kemudian.
"Nad, kalo
ada apa-apa kamu harus ngasih tau aku ya?", Ical berharap cemas, seolah
aku ini hendak bunuh diri saja. Aku tersenyum tipis dan mengangguk.
"Kalau
kamu butuh cerita, aku siap kapan aja," Ical sibuk menawarkan
bantuan.
"Makasih
sayang, makasih banget. Aku cuma butuh sendiri sekarang".
"Ini hari
ulang tahun kamu, seharusnya kamu nggak melewatkannya dengan cara begini".
Aku tersenyum getir dan melangkah masuk ke rumah.
Sesampainya di
kamar, aku mengambil album foto keluargaku. Masih ada Ibu yang mengendongku,
Ayah yang mengajariku bersepeda dan kami bertiga yang belajar berenang
bersama-sama sebab sama-sama tidak bisa. Ada juga fotoku sedang mengangkat
piala tinggi setelah memenangkan pertandingan catur saat berusia 10 tahun. Ayah
mengangkatku tinggi-tinggi dan ibu tersenyum manis sekali.
Sayang sekali
kebersamaan itu luntur, sejak Ibu meniggal 3 bulan yang lalu. Tahu-tahu Ayah
menjadi sangat sibuk dan tak punya waktu. Sekedar makan malam bersama atau
mengantarkanku ke sekolah tak lagi sempat. Aku malah lebih banyak menghabiskan
waktu dengan Ical. Dan Ayah ? Tenggelam dalam dunianya sendiri seolah aku tak
ada lagi..
Aku sudah
memutuskan untuk menulis surat saja buat Ayah. Kupikir itu lebih baik dan Ayah
bisa membaca sesempatnya. Surat yang mengabarkan aku sudah lelah merasa sedih
dan tak dianggap penting atau bahkan mungkin dianggap ada. Jadi begini bunyi
suratku..
Untuk AYAH
Terima kasih
Ayah, Ayah selalu pulang setelah waktu makan malam usai sehingga aku bisa makan
tnapa aturan yang kaku
Terima kasih
Ayah, Ayah terus mengganti perhatian dengan uang sehingga aku kelelahan
menghabiskannya sendirian
Terima
kasih Ayah, Ayah tak pernah menjumputku atau mengantarku sehingga aku
lebih banyak punya waktu dengan Ical
Terima kasih
Ayah, Ayah tak lagi menemaniku main catur di sore hari sehingga aku bisa
berkeliaran sesukaku
Terima kasih
Ayah, Ayah tak lagi sempat mengambil raportku sehingga aku tak perlu meliihat
kebanggaan yang mengharu biru
Terima kaih
ayah, Ayah sudah melupakan hari ulang tahunku sehingga aku tak perlu menutup
mata untuk membuat permintaan sesaat sebelum meniup lilin.
Maaf, aku tidak
pernah mengerti dunia Ayah
Maaf, aku
terlalu banyak menuntut waktu Ayah
Maaf, aku
selalu saja tak peduli dengan apa yang terjadi pada Ayah
Maaf, aku tak
lagi pernah bercerita tentang duniaku kepada Ayah
Maaf,
aku tak lagi memberi dekapan hangat dan ucapan selamat pagi sebelum
memulai hari
Maaf, aku
membebani hidup Ayah
Maaf, aku
menjadi anak Ayah yang membuat Ayah tak bahagia
Maaf, aku
terlalu menuntut banyak maaf sedang aku tak bisa memberi apa-apa
-NADIA-
Pada baris
terakhir dimana namaku berada, air mataku menetes lembut. Aku terlalu lelah
sekarang untuk menahan air mata. Aku tidak lagi percaya aku masih punya
keluarga. Aku lelah.. Aku kehilangan arah..
Tepat pukul 11
malam aku terbangun, ternyata menangis menguras tenaga dan aku kelelahan
karenanya. Tahu-tahu aku sudah terbangun saja. Namun ada yang aneh, surat yang
kutulis untuk Ayah tidak lagi disebelahku. Ada secarik kertas lain yang
ditunjukan untukku.
Untuk Nadia,
Malaikaan kecil Ayah yang beranjak dewasa
Maaf, Ayah tak
pernah lagi menemanimu makan malam atau sekedar main catur di sore hari. Ayah
tahu nak, Ayah telah terlalu jauh mengabaikanmu. Tapi bagaimana pun juga
sekarang Ayah sendiri. Sendiri mengurus kantor dan usaha perkebunan bunga yang
dulu sempat dikelola ibu. Sendiri juga Ayah harus mengatur diri. Sendiri
membesarkanmu dan pada yang terakhir ini ternyata Ayah gagal. Ayah tak pernah
mau berterus terang kepadamu, kepada permintaan terakhir ibumu, bahwa kaulah
yang mengurus perkebunan bunga itu, Ayah pikir kau masih terlalu kecil untuk
mendapat beban seberat itu. Ayah taku masa remajamu akan lewat tanpa kau sempat
menikmatinya. Ayah takut mengatakan hal ini kepadamu, takut kalau Ayah menyebut
Ibu dukamu akan kembali hadir dan Ayah tak sanggup melihatmu menangis karena
jauh dalam hati Ayah, Ayah akan lebih dari sekedar menangis. Ayah selalu tak
tahan melihatmu bersedih, Nak. Maaf Ayah tak memberitahumu sehingga Ayahlah
yang membuatmu merasa bersedih atas kesepian yang Ayah ciptakan.
Maaf Ayah tak
pernah memberitahumu betapa Ayah sangat khawatir kau bergaul dengan tidak
benar, berkawan dengan orang yang salah. Tapi ternyata kau memilih Ical masuk
dalam hidupmu dan Ayah selalu yakin dengan pilihanmu. Meski Ayah sangat
khawatir Ayah rasa Ayah tidak perlu mengatakannya kepadamu karena Ayah pikir
itu hanya akan menbuatmu merasa terbelenggu.
Maaf Ayah tak
pernah memberitahumu, setiap malam Ayah selalu masuk kamarmu dan tidur
disebelah ranjang diatas karpet merah itu. Ayah selalu mencium keningmu
diam-diam dan menatap senyummu yang damai dalam tidur. Itu membuat Ayah lebih
kuat untuk menjalani esok hari. Hanya kamu yang memberi Ayah kekuatan. Hanya
senyummu yang membuat Ayah bertahan.
Maaf Ayah
membuatmu menutup telepon siang tadi. Ayah ingin berkata sebenarnya, Ayah ada
di makan Ibu. Mengabarkan kepadanya tentang kau yang terus membuat kami bangga
dengan prestasi dan tumbuh menjadi gadis yang sungguh cantik. Ayah juga
bercerita kepada Ibu betapa Ayah sanggat bangga kau tetap menjadi juara pertama
di sekolah meski Ibu tidak ada lagi. Ayah menceritakan semuanya Nak. Ayah pikir
Ibu juga harus berbahagia di hari ulang tahunmu ini. tapi Ayah justru membuatmu
kecewa dengan tidak mengatakannya. Entah mengapa sekarang Ayah terlalu takut
berkata apa-apa. Takut Ayah akan terlalu sering mengucapkan nama Ibumu dan kau
akan merindukannya dan merasa tersiksa. Dan disinilah kesalahan Ayah. Ayah tak
lagi pernah berbicara kepadamu. Ayah tak lagi mengatakan betapa Ayah sangat
menyayangimu dan bangga padamu. Ayah terlalu takut membagi beban tentang
kesedihan ditinggal Ibu. Ayah terlalu sibuk mencintaimu tetapi tidak pernah
membuktikannya dihadapanmu.
Maaf Ayah terus
membuarkanmu sendiri, maaf Ayah terlalu sering membuatmu kecewa. Maaf Ayah
menyayangimu tapi kau tak lagi tahu.
Sayang,
disebelahmu Ayah meletakkan kue ulang tahunmu. Entah apakah sekarang lilinnya
masih menyala atau tidak. Jika masih dan kau menginginkan Ayah menemanimu untuk
meniupnya, turunlah. Ayah menunggumu didepan gerbang. Tapi jika sudak lewat
tengah malam dan kau tak juga turun, Ayah mengerti. Memang Ayah terlalu banyak
bersalah dan lebih baik kau sendiri. Ayah mengerti dan Ayah akan membiarkan kau
melakukannya sendiri.
-Ayah-
Sampai pada
titik terakhir, surat itu sudah basah oleh air mataku. Aku segera berlari
keluar membawa kue ulang tahunku yang sudah dingin. Ternyata Ayah sudah
menungguku sejak tadi dan tetap terjaga.
"Ayah..",
aku berkata pelan. Ayah tersenyum menatapku. Segera aku berlari memeluknya.
"Ayah
menyayangimu tapi Ayah tidak memberitahumu. Maaf."
"Aku yang
bodoh, tak pernah merasakannya."
Dan kami pun
tenggelam dalam tangis disaksikan oleh kue ulang tahun yang membeku.